“Keterampilan yang aku banggakan,” katanya. “Kikuko, kesinilah dan tolong bantu.”
Untuk beberapa lama saudariku tak bergerak. Kemudian ia melangkah kedepan dan mengambil celemek yang tergantung di laci.
“Sayuran ini dimasak sekarang,” kata ayah padanya. “Sisanya disimpan. “ Kemudian ia menatapku dengan pandangan yang aneh beberapa saat. “aku berharap kau ingin melihat-lihat rumah ini.” Akhirnya ia berkata. Ia menaruh sumpit yang ia pegang. Lama kau tidak melihatnya.”
Ketika kami meninggalkan dapur aku memandang ke Kukiko lagi, tetapi ia memunggungiku.
“Ia gadis yang baik,” Ayah berkata pelan.
Aku mengikuti ayah dari ruang ke ruang. Aku telah lupa berapa luas rumah ini. Sebuah panel digeser terbuka dan ruang lain tampak. Tetapi ruang itu kosong. Pada satu ruang , cahaya tak masuk, dan aku memandangi pada dinding dingin dan tatami dengan cahaya yang masuk dari jendela.
“Rumah ini terlalu luas untuk ditinggali sendirian.” Ayahkan berucap. “Aku tidak memakai sebagian besar ruang-ruang ini sekarang.”
Akhirnya ayahku membuka pintu sebuah ruang yang penuh sesak dengan buku dan koran. Ada bunga pada vas dan gambar –gambar di dinding. Kemudian aku mengamati sesuatu di meja rendah di sudut ruang. Aku mendekat dan melihat bahwa benda itu sebuah model kapal perang plastik, jenis yang dibuat anak-anak. Diletakkan pada beberapa koran, tercecer potongan –potongan plastik abu-abu di sekitarnya. Ayah tersenyum. Ia mendekati meja dan mengangkat model itu.
“Sejak perusahaan gulung tikar,” katanya. “Aku punya lebih banyak waktu.”
Ia tersenyum lagi, agak aneh. Sejenak wajahnya melembut.