“Ada seperiuk hidangan yang belum dibuka di tengah meja. Ketika Kukiko duduk kembali
, ayah menjulurkan tangan dan membuka sungkup. Sekumpulan uap menyeruak dan bergulung mengarah ke lampu. Ia mendorongkan periuk itu ke mendekat kearahku.
“Kau tentu lapar,” katanya. Satu sisi wajahnya jatuh ke bayangan. “Terima kasih,” aku menggerumit dengan sumpitku. Uap masih panas. “Apa ini?”
“Harum baunya.”
Di tengah sup ada sepotong ikan yang digulung membola. Aku menyumpit dan mengambil satu di mangkukku.
“Ambilah lagi. Ada banyak.”
“Terima kasih,” aku mengambil sedikit lagi, lalu menyodorkan panci itu ke ayah. Aku memperhatikannya mengambil beberapa potong ke mangkuknya. Kemudian kami berdua memperhatikan Kikuto melayani dirinya sendiri.
Ayah menunduk “Kau tentu lapar,” katanya lagi.
Ia menyuapkan ikan ke mulutnya dan mulai makan. Kemudian aku memilih sepotong dan memakannya. Berasa lembut, dagingnya terasa di lidah.
“Enak,” kataku, “Apa ini?” “Ikan.”