Ia menyeriai kembali, kemudian melompat ke depanku sampai dekat dengan sumur. “Kau ingat.” Katanya, ketika aku menyusulnya. Kau dulu menyatakan sumur ini berhantu?”
“Ya , aku ingat.”
Kami berdua mengintai dari samping.
“Ibu selalu menyatakan padaku ada seorang perempuan tua dari toko sayuran yang kau lihat malam itu,” katanya. “Tetapi aku tidak pernah mempercayainya dan tidak pernah keluar kesini sendirian.”
“Ibu pernah menyatakan padaku juga. Iapun menyatakan padaku suatu kali perempuan itu mengakui ia telah jadi hantu. Nyatalah, ia telah menerobos taman. Aku membayangkan ia melewati rintangan dengan memanjat dinding ini.”
Kikuko terkikih. Ia kemudian mengalihkan punggungnya ke dinding, menyapu pandangan ke sekitar taman.
“Ibu tidak pernah menyalahkanmu, kau tahu,” katanya, dengan suara yang baru.
“Ia selalu menyatakan padaku bagaimana ini kemudian menjadi kesalahan, kesalahan nya dan ayaah, karena tidak mengasuhmu dengan benar. Ia menyatakan padaku betapa lebih hati- hati mereka denganku, dan itulah sebanya aku jadi lebih baik.”
Ia memandangiku dan seringai yang nakal kembali pada wajahnya.
“Ibu yang malang,” katanya. “Ya. Ibu yang malang,” katanya.