Cerpen Heru Patria: MEMETIK BINTANG DI LANGIT SIANG

- 8 Juni 2024, 08:00 WIB
ilustrasi cerpen
ilustrasi cerpen /

*

Bunyi peralatan operasi yang beradu jelas terdengar dari bangku ruang tunggu. Dentingan-dentingan itu semakin membuat jantung keluarga pasien serasa terpacu. Tiap kali pintu ruang operasi terkuak, hati ini bagai tersentak. Ada suatu dorongan yang memaksa hatiku untuk sebentar-sebentar melongok ke jendela ruang operasi itu. Meskipun tetap saja mataku tak dapat melihat apa-apa karena tebalnya kaca jendela.

Istriku hanya duduk terpaku dengan mata yang masih sembab. Wajahnya tampak kusut sekusut perasaannya yang sedang carut marut.

“Bagaimana, Mas?” Tiap kali aku selesai melongok jendela ruang operasi selalu pertanyaan itu yang terlontar dari mulutnya. Sebagai jawaban aku hanya menggeleng sambil mengangkat bahu karena memang aku belum tahu hasil pastinya. Aku hanya berdoa semoga semuanya akan baik-baik saja.

Hampir satu jam lebih detik-detik mencemaskan itu melanda. Hanya kartu kesehatan  yang ada di kantong celanaku yang sedikit mampu menenangkan kalbu. Berbagai perasaan cemas selalu coba aku tepis, walau nyatanya masih juga terasa mengiris.

Aku tatap langit-langit ruang tunggu yang bebas tak berjelaga. Dalam hati aku munajatkan doa untuk keselamatan anak tercinta. 

*

Alhamdulilah. Aku bisa bernapas lega. Operasi pengangkatan usus buntu itu berjalan lancar. Sambil menunggu Iwan sadarkan diri dari pengaruh obat bius, aku dan istri duduk di bangku beton depan ruang bedah.

“Mas, kata dokter kemarin biaya operasi Iwan sekitar enam juta lima ratus ribu dan harus dibayar di muka. Dari mana kau mendapat uang kok tahu-tahu dokter sudah melakukan tindakan?” Istriku bertanya dengan tatapan kelu. 

“Sudahlah, Sri. Kau tak perlu cemaskan hal itu. Yang penting Iwan sudah selamat. Doakan saja ia cepat sembuh,” jawabku seraya merengkuh pundaknya. 

Halaman:

Editor: Isbedy Stiawan ZS


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah