Cerpen Heru Patria: MEMETIK BINTANG DI LANGIT SIANG

- 8 Juni 2024, 08:00 WIB
ilustrasi cerpen
ilustrasi cerpen /

Lamat-lamat terdengar suara Iwan yang merintih. Sepertinya ia sudah mulai siuman. Dengan senyum bahagia, aku dan istri beranjak menghampiri Iwan sembari berharap semoga aku segera diangkat sebagai PNS. Agar perjalananku menjemput impian untuk membahagiakan keluarga bisa segera jadi kenyataan. Bukan sekadar kiasan layaknya memetik bintang di hari langit siang.

Minggu pagi, sambil memeluk pinggang Sri dari belakang kupandangi Iwan yang sedang bermain di teras. Wajah Iwan sudah kembali sumringah seolah tak pernah terjadi apa-apa atas dirinya. Begitu pun wajah Sri. Wajah oval bergigi gingsul itu selalu menyunggingkan senyum termanisnya.

“Terima kasih ya Mas atas kegigihanmu ikut iuran kesehatan. Andai saja Mas tidak bersikukuh seperti itu, aku tak tahu entah apa yang akan terjadi pada anak kita,” ucap Sri sembari mengusap punggung tanganku yang berada tepat di atas pusarnya.

“Berterima kasihlah pada cinta kita, Sri. Hanya karena besarnya rasa cinta kita yang membuat aku mampu bersikap tegar seperti itu,” jawabku setengah berbisik. Begitu dekatnya bibirku dengan telinganya sampai-sampai embusan napasku terasa menyentuh telinganya. 

Perlahan Sri membalikkan wajah. Bola matanya yang bening mengerjap-ngerjap saat menatapku. Meski tanpa terucap, aku tahu apa yang ada dalam pikiran Sri. Sebagai balasannya aku labuhkan sebuah ciuman lembut di keningnya yang halus karena taburan bedak wangi.

Sungguh aku teramat bahagia saat ini. Sri yang telah menyadari keteguhan sikapku, benar-benar membuatku terharu. Sedang aku sendiri nyaris tidak yakin, jika aku bisa berbuat seperti itu. Bekerja sampingan setelah melaksanakan tugas mendidik anak bangsa yang honornya tak seberapa. Kalau dipikir secara logis, seakan hal itu mustahil terjadi. Ragaku yang ringkih tak mendukung untuk bekerja sekeras itu. 

Namun nyatanya, aku sanggup. Semua itu terdorong oleh besarnya rasa cintaku pada istri dan anak. Tak akan pernah sanggup aku melihat mereka menderita. Karena itu, aku rela memeras keringat demi untuk membahagiakan mereka. Cinta mereka merupakan pelecut semangatku dalam mencari nafkah. 

Hanya dengan melihat istri dan anak tersenyum, sirnalah sudah segala lelah yang sempat singgah. Cinta keluarga adalah sinar matahari pemompa semangat dalam bekerja. Setidaknya begitu yang aku rasa selama ini.

Memandang Iwan dan Sri bisa selalu tersenyum bahagia, semangat dalam dada akan selalu membara. Seperti bara cinta Sri yang terpancar di matanya. Dengan perlahan dan malu-malu ia menarikku masuk kamar dengan perasaan menggelora.***

Halaman:

Editor: Isbedy Stiawan ZS


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah