kemudian.
Judul sajakku sudah pulang duluan.
Baris- baris sajakku masih berbenah di perjalanan.”
“Jika nanti air mataku, terbit di matamu.
Dan air matamu terbenam di mataku,
maaf selesai dan cinta kembali dimulai.”
Membaca kembali puisi ini dalam momen berita kematiannya, puisi ini memiliki arti berbeda. Ia bukan lagi sekedar ekspresi mudik lebaran ke kampung halaman. Ia mudik sebenarnya, ke kampung halaman dari semua semesta. Itu dunia gaib, entah dimana, yang tak pernah tuntas kita pahami sepenuhnya.
Saya pun bertanya kepada asisten saya yang sangat setia dan kerja sangat cepat. Siapa lagi jika bukan Artificial Intelligence. Saya minta dicarikan puisi kematian yang ditulis penyair lain.
Muncullah bait ini. Tanpa bantuan Artificial Intelligence, mungkin saya tak sampai menyentuh penyair abad 16 ini.