Cerpen Kazuo Ishiguro: Makan Malam Keluarga

27 Januari 2024, 18:24 WIB
ilustrasi cerpen Makan Malam Keluarga /ist

Makan Malam Keluarga

Cerpen Kazuo Ishiguro

 

Fugu adalah sejenis ikan yang ditangkap di Pesisir Pasifik Jepang.  Ikan ini memiliki arti khusus buatku sejak ibu meninggal usai menyantapnya.  Racun  berdiam  di kelenjar sex ikan itu, didalam kantong-kantong yang mudah pecah. Ketika mengolah ikan tersebut, kantong titu harus dibuang dengan hati-hati, karena kecanggungan  akan mengakibatkan racun membocor ke pembuluh darah.   Sayangnya, tidak mudah menyatakan pengolahan berhasil atau tidak. Membuktikannya, ya, ketika memakannya.

Racun Fugu mengerikan dan menyakitkan serta hampir selalu fatal. Jika ikan ini dimakan malam hari, korban biasaya mengalami nyeri yang dususul dengan kesakitan selama tidurnya. Ia akan berguling-guling dalam kesakitan selama beberapa jam dan meninggal keesokan harinya.  Ikan ini menjadi sangat populer di Jepang setelah perang.  Sampai peraturan yang lebih ketat diberlakukan, segala kegemaran untuk pengolahan pengeluaran isi perut yang berbahaya dilakukan di dapur sendiri, kemudian mengundang tetangga dan teman untuk makan.

Saat ibu meninggal, aku masih tinggal di California.  Hubungan  dengan orang tua agak tegang pada periode itu, dan akibatnya aku tidak mempelajari keadaan sekeliling tentang perihal kematian ibu sampai aku kembali ke Tokyo dua tahun kemudian. Nyatanya, ibu selalu menolak makan fugu, tetapi ada kesempatan khusus yang ia kecualikan, menerima undangan makan kawan sekolahnya yang ia tak ingin kecewakan. Ayah  memberikan rinciannya ketika kami berkendara dari bandara ke rumah di Distrik Kamakura.  Kami akhirnya sampai ketika, hampir di pengujung  hari musim gugur yang cerah.

“Sudah makan di pesawat?” Ayahku bertanya.  Kami duduk di lantai tatami ruang-teh.

“Mereka memberiku penganan kecil.”

“Kau tentu masih lapar. Kita akan makan begitu Kikuko datang.”

Ayahku seorang lelaki bertampang hebat dengan rahang keras yang lebar dan alis hitam menyeramkan. Aku mengingat-ingat baik-baik ia sangat mirip Chou En-lai, walaupun ia tidak akan bangga dengan perbandingan seperti itu, karena secara khusus ia bangga dengan darah samurai yang mengalir di keluarga.   Kehadirannya tak memungkinkan orang untuk berani berbicara santai dengannya, atau tak ada yang dapat membantu dengan cara ganjilnya menyatakan setiap kata seolah-olah menyimpulkan sesuatu.   Begitulah, ketika aku duduk berhadap-hadapan dengannya sore itu, kenangan masa kecil kembali saat ia memukul   di kepalaku beberapa karena ‘berbicara seperti seorang perempuan tua’. Tak  dapat delakkan, percakapan kami sejak kedatanganku di bandara telah dsela oleh jeda yang panjang.

“Maaf telah mendengar tentang perusahaanmu,” kataku ketika setelah beberapa lama taka da yang bicara diantara kami.  Ia mengangguk murung.

“Sebetulnya cerita tak berakhir sampai disitu,” katanya. “Setelah perusahaan bangkrut,

Watanabe bunuh diri.  Ia tidak berharap hidup dengan aib.” “Begitu.”

“Kami  telah  berkawan  tujuhbelas  tahun.    Seorang  lelaki  yang  punya  prinsip    dan kehormatan .  Aku sangat menghormatinya.”

“Kau akan memulai berbisnis lagi?” aku bertanya.

“Aku – saat pengunduran diri ini. Aku terlalu tua untuk terlibat dalam kongsi-kongsi baru. Bisnis sekarang sangat berbeda. Menghadapi orang-orang asing. Melakukan usaha dngan cara mereka.  Aku tidak mengetahui cara menghadapi ini.  Tidak juga Watanabe.” Ia menyeriai. Lelaki baik.  Seorang yang punya prinsip.”

Ruang teh tampak dari taman.  Dari tempat aku duduk aku dapat memandangi sumur tua yang sebagai seorang anak aku percaya berhantu. Dapat dilihat sekarang melalui dedaunan yang tebal. Matahari melindap turun-naik pada taman yang jatuh jadi bayangan.

“Aku senang kalau kau memutuskan untuk pulang,” ayahku berkata. “Lebih dari kunjungan singkat, aku berharap.”

“Aku tidak yakin dengan rencana selanjutnya.”

“Demi  aku yang bersiap melupakan masa lalu.  Ibumu selalu senang untuk menyambut

kau kembali –bingung dengan  sikapmu.”

“Aku hargai simpatimu, ketika aku berkata ‘aku tak yakin dengan rencanaku.”

“Aku percaya sekarang tak ada niat jahat pada pikiranmu, “ ayahku melanjutkan.  “Kau

terayun-ayun oleh pengaruh –pengaruh tertentu.  Seperti banyak yang lain. “Mungkin kita akan melupakannya, seperti yang kau anjurkan.” “Tambah teh?”

Sejenak kemudian terdengar  suara seorang gadis, menggema melalui rumah.

“Akhirnya,” Ayahku bangkit dari duduknya.  “Kukiko datang.”

Walaupun berjarak bertahun, adik perempuanku dan aku selalu dekat.   Melihat aku kembali tampak membuatnya sangat senang dan sejenak ia tak lakukan apa-apa –bergeming dan  terkikih-kikih gugup.  Tetapi ia tenang kembali ketika ayahku mengajukan pertanyaan padanya tentang Osaka dan universitasnya.  Gadis itu menjawab  dengan jawaban resmi yang pendek. Ia beralih menanyaiku beberapa pertanyaan tetapi ia tampak terhalangi oleh rasa takut apakah   pertanyaan itu mengarah pada topik-topik yang janggal.   Sejenak kemudian, percakapan jadi lebih jarak dibanding sebelum Kukiko datang .  Ayah lalu berdiri, berkata: “Aku harus menyiapkan makan malam.  Maafkan telah membebanimu dengan hal seperti itu. Kikuko akan menemanimu.”

Saudariku nampak sangat santai ketika ia meninggalkan ruang itu. Dalam beberapa menit, ia ngobrol bebas tentang sahabatnya di Osaka dan tentang kelas-kelasnya di universitas. Tiba- tiba kemudian ia memutuskan berjalan-jalan di taman dan mulai melangkah keluar ke beranda. Kami mengenakan sandal jeramiyang diletakkan sepanjang pagar dan turun ke taman. Cahaya siang hampir pergi.

“Aku hampir mati karena asap selama setengah jam,” katanya, menyulut sebatang rokok. “Lalu mengapa kau merokok?”

Ia menunjukkan sikap  sembunyi-sembunyi memunggungi rumah, kemudian  menyeriai nakal.

“Oh. Tahu,” kataku.

“Terka, apa? Aku mempunyai pacar sekarang.” “Oh ya?”

“Kecuali aku ingin tahu apa yang akan dilakukan.  Aku belum membereskan pikirankan.” “Dapat dimengerti.”

“Kau tahu.   Ia berencana ke Amerika Ia ingin aku pergi dengannya begitu aku selesai studi.”

“Aku tahu.  Dan kau ingin pergi ke Amerika?”

“Jika kami pergi, kami akan mencari tumpangan,” Kikuko mengayunkaan satu jempol di depan matanya.  "Orang  menyatakan ini berbahaya, tetapi aku melakukan ini di Osaka dan menyenangkan.”

“Aku tahu.  Jadi apa yang menyangsikanmu?”

Kami mengikuti jalan sempit yng berkelok melalui sesemak dan berakhir dekat sumur tua. Selama kami berjalan, Kikuko menahan mengeluarkan kepulan teatrikal pada rokoknya.  “Ya aku banyak kawan sekarang di Osaka.   Aku suka disana.   Aku tidak yakin aku ingin meninggalkan mereka semua setelah ini.  Dan, Suichi – aku menyukai cowok itu, tetapi aku tidak yakin aku ingin menghabiskan waktu dengannya.

“Kau mengerti? “Oh sempurnanya.” ini

Ia menyeriai kembali, kemudian melompat ke depanku sampai dekat dengan sumur. “Kau ingat.” Katanya, ketika aku  menyusulnya.  Kau dulu menyatakan sumur ini berhantu?”

“Ya , aku ingat.”

Kami berdua mengintai dari samping.

“Ibu selalu menyatakan padaku ada seorang perempuan tua dari toko sayuran yang kau lihat malam itu,” katanya.  “Tetapi aku tidak pernah mempercayainya dan tidak pernah keluar kesini sendirian.”

“Ibu pernah menyatakan padaku juga. Iapun menyatakan padaku suatu kali perempuan itu mengakui ia telah jadi hantu.  Nyatalah, ia telah menerobos taman.  Aku membayangkan ia melewati rintangan dengan memanjat dinding ini.”

Kikuko terkikih.   Ia kemudian   mengalihkan punggungnya ke dinding, menyapu pandangan ke sekitar taman.

“Ibu tidak pernah menyalahkanmu, kau tahu,” katanya, dengan suara yang baru.

“Ia selalu menyatakan padaku bagaimana ini kemudian menjadi kesalahan, kesalahan nya dan ayaah, karena tidak mengasuhmu dengan benar.  Ia menyatakan padaku betapa lebih hati- hati mereka denganku, dan itulah sebanya aku jadi lebih baik.”

Ia memandangiku dan seringai yang nakal kembali pada wajahnya.

“Ibu yang malang,” katanya. “Ya. Ibu yang malang,” katanya.

“Apakah kau akan kembali ke California?” “Tak tahu. Lihatlah nanti.”

“Apa yang terjadi padanya – pada Vicky?”

“Semua telah selesai,”kataku. “Tak banyak lagi yang tertinggal di California.” “Kau pikir aku harus pergi kesana?”

“Mengapa tidak? Aku tidak tahu. Kau mungkin menyukainya.” Aku memandang ke arah rumah.  “Mungkin lebih baik kita segera masuk.  Ayah butuh bantuan  menyiapkan  makan malamnya itu.”

Tetapi saudariku sekali lagi menatap lekat-lekat ke dalam sumur.   “Aku tidak melihat hantu apapun,” ia berkata. Suaranya bergema sejenak.

“Apakah ayah terganggu dengan jatunya perusahaannya?”

“Tidak tahu.  Kau tidak pernah bicara dengan ayah.” Kemudian tiba-tiba ia tegak berdiri dan menoleh ke arahku.  “Apa ia menyatakan padamu tentang Pak Watanabe? Apa yang  ia lakukan ?”

“Aku dengar Pak Watanabe bunuh diri.”

“Begitu, tidak seluruhnya .  Ia mati bersama seluruh keluarganya.  Isteri dan dua anak perempuannya yang masih kecil.”

“Oh ya?”

“Ada dua gadis kecil.   Ia menyalakan gas ketika mereka sedang tidur.   Kemudian ia menikam perutnya sendiri dengan pisau daging.”

“Ya.   Ayah hanya menyatakan padaku bahwa Watanabe adalah seorang lelaki yang berpendirian.”

“Sakit,” saudariku kembali ke sumur.

“Hati-hati. Kau dapat jatuh,

“Aku tidak melihat satupun hantu,” katanya . “Kau sedang berbohong padaku waktu itu.” “Tetapi aku tidak pernah berkata hantu  tinggal dalam sumur.”

“Lalu di mana?”

Kami berdua memandangi sekeliling pada pepohonan dan sesemak.   Cahaya di taman meredup.  Akhirnya aku melihat seberkas cerahan kira-kira sepuluh yard jauhnya.

“Aku melihat sesuatu. Disana.”

Kami memandangi  berkas itu.

“Tampak seperti apa?

“Aku tak dapat melihatnya dengan jelas.  Gelap.” “Kau jelas melihat sesuatu.”

“Seorang perempuan tua .  Ia berdiri disana, memperhatikanku.”

Kami tetap memandangi berkas itu seakan-akan terpesona.

“Ia memakai kimono putih,” kataku.  “Sebagian rambutnya terurai. Tertiup angin.”

Kikuko menekankan sikunya pada lenganku.

“Oh, berhentilah.  Kau mencoba menakutiku lagi.”

Ia menginjak sisa rokoknya, lalu sejenak berdiri memandang dengan ekspresi kalut.  Ia menendangi ranting pinus, kemudian sekali lagi menampakkan seringainya.

“Kita lihat apakah makan malam telah siap,” katanya.

Kami mendapati ayah di dapur.  Ia memandangi kami sejenak, bersibuk lagi dengan yang dikerjakannnya.

“Ayah jadi koki sejak ia sendirian,” Kikuko berkata dengan tertawa.   Ia menoleh dan memandang saudariku dengan dingin.

“Keterampilan yang aku banggakan,” katanya.  “Kikuko, kesinilah dan tolong bantu.”

Untuk beberapa lama saudariku tak bergerak.   Kemudian ia melangkah kedepan dan mengambil celemek yang tergantung di laci.

“Sayuran ini dimasak sekarang,” kata ayah padanya.  “Sisanya disimpan. “ Kemudian  ia menatapku dengan pandangan yang aneh beberapa saat. “aku berharap kau ingin melihat-lihat rumah ini.” Akhirnya ia berkata.   Ia menaruh sumpit yang ia pegang.   Lama kau tidak melihatnya.”

Ketika kami meninggalkan dapur aku memandang ke Kukiko lagi, tetapi ia memunggungiku.

“Ia gadis yang baik,” Ayah berkata pelan.

Aku mengikuti ayah dari ruang ke ruang.  Aku telah lupa berapa luas rumah ini.  Sebuah panel digeser terbuka dan ruang lain tampak. Tetapi ruang itu kosong. Pada satu ruang , cahaya tak masuk, dan aku memandangi pada dinding dingin dan tatami  dengan cahaya yang masuk dari jendela.

“Rumah  ini  terlalu  luas  untuk  ditinggali  sendirian.”  Ayahkan  berucap.    “Aku  tidak memakai sebagian besar ruang-ruang ini sekarang.”

Akhirnya ayahku membuka pintu sebuah ruang yang penuh sesak dengan buku dan koran. Ada bunga pada vas dan gambar –gambar di dinding.  Kemudian aku mengamati sesuatu di meja rendah di sudut ruang.  Aku mendekat dan melihat bahwa benda itu sebuah model kapal perang plastik, jenis yang dibuat anak-anak.   Diletakkan pada beberapa koran, tercecer potongan –potongan plastik  abu-abu di sekitarnya. Ayah tersenyum.  Ia mendekati meja dan mengangkat model itu.

“Sejak perusahaan gulung tikar,” katanya.  “Aku punya lebih banyak waktu.”

Ia tersenyum lagi, agak aneh.  Sejenak wajahnya melembut.

“Lebih banyak waktu.”

“Tampak aneh,” kataku.  “Kau selalu sibuk.

“Terlalu sibuk bahkan,” Ia memandangiku dengan senyum kecil. “Mungkin aku harus jadi seorang ayah yang berperhatian.”

Aku tertawa.   Ia melanjutkan renungannya tentang kapal perang.   Kemudian ia memandangku.

“Aku tak bermaksud menyatakan ini padamu. , tetapi mungkin ini yang terbaik. Menurut keyakinanku kematian ibumu bukan karena kecelakaan.  Ia banyak khawatir.  Dan kecewa.”

Kami berdua memandangi kapal perang plastik itu.

“Yakinlah,” akhirnya aku berkata, “ibuku tidak mengharapkanku tinggal disini selamanya.”

“Nyata-nyata kau tak mengerti.   Kau tidak mengerti tentang hal-hal yang terjadi pada orang tua. Tidak hanya mereka harus kehilangan anak-anak mereka, mereka harus kehoilangan mereka karena sesuatu yang tak mereka mengerti."  Ayah memutar-mutar kapal perang  pada jemarinya.  “Kapal meriam kecil ini direkat dengan baik, bukan?”

“Mungkin.  Aku pikir kelihatannya bagus.”

“Selama perang aku menghabiskan waktu di sebuah kapal seperti ini.  Tetapi ambisiku selalu angkatan udara.  Aku menggambarkannya seperti ini.  Jika kapalmu dihantam musuh semua orang akan bertahan hidup mengharapkan tali penolong.   Tetapi di sebuah pesawat terbang – selalu jadi senjata terakhir.” Ia meletakkan kapal perang model itu keatas  meja lagi. “Aku tidak mengharuskan kau percaya dengan perang.”

“Tidak juga”

Ia melirik ke satu ruang.

“Makan malam tentu sudah siap sekarang,” katanya.  “Tentu kau lapar.”

Makan malam telah   menunggu dalam cahaya suram di sebelah dapur.   Satu-satunya sumber cahaya adalah lampu besar yang menggantung dia atas meja dan memberikan sisi kamar dalam bayangan.

Kami saling membungkuk sebelum mulai makan.

Ada percakapan kecil.  Ketika aku melontarkan komentar yang sopan tentang makanan, Kikuko agak menyeringai.   Kekakuan   pada awalnya tampak kembali padanya.   Ayah tak bicara berapa menit.  Akhirnya ia berkata.

“Tentunya terasa aneh  ketika kau kembali ke Jepang.” “Ya. Agak aneh.”

“Mungkin, kau menyesal meninggalkan Amerika.”

“Sedikit. Tidak terlalu.   Tak banyak yang kutinggalkan .  Hanya beberapa ruang yangkosong.” “Begitu.”

Aku memandang melintasi meja. Wajah ayahku tampak membatu dan menakutkan dalam paruh cahaya.  Kami makan dalam diam.

Kemudian mataku menumbuk sesuatu di belakang ruangan.  Awalnya aku terus makan, tetapi kemudian  tanganku  kaku.    Yang  lain  memandangiku.    Aku tetap  memandang  ke kegelapan di balik punggung ayahku.

“Siapa itu? Foto disana?”

“Foto yang mana? Ayahku menoleh ringan mencoba mengarahkan ke pandanganku.

“Yang paling bawah.  Perempuan tua dengan kimono putih.”

Ayahku menaruh sumpitnya.  Ia memandang ke foto kemudian ke aku. “Ibumu.”  Suaranya mengeras.  “Tak dapatkah kau mengenali ibumu sendiri?” “Ibuku.  Kau tahu, ini gelap.  Aku tak dapat melihatnya dengan jelas.”

Tak seorangpun berbicara beberapa saat kemudian Kikuko berdiri. Ia mengambil foto dari dinding, kembali ke meja dan memberikannya padaku.

“Ia tampak jauh lebih tua.” kataku.

Foto diambil sesaat sebelum kematiannya,” kata ayah.

“Gelap .  Aku tak dapat melihat dengan jelas.”

Aku   memperhatikan ayah mengulurkan tangan.   Aku memberikan foto itu. Ia memandangi dalam-dalam, kemudian menyerahkannya ke Kukiko.  Dengan patuh, saudariku itu berdiri sekali lagi dan mengembalikan foto itu ke didnding.

“Ada seperiuk hidangan yang belum dibuka di tengah meja. Ketika Kukiko duduk kembali

, ayah menjulurkan tangan dan membuka sungkup. Sekumpulan uap menyeruak dan bergulung mengarah ke lampu.  Ia mendorongkan periuk itu ke mendekat kearahku.

“Kau tentu lapar,” katanya.  Satu sisi wajahnya jatuh ke bayangan. “Terima kasih,” aku menggerumit dengan sumpitku.  Uap masih panas. “Apa ini?”

“Harum baunya.”

Di tengah sup ada sepotong ikan yang digulung   membola.   Aku menyumpit dan mengambil satu di mangkukku.

“Ambilah lagi.  Ada banyak.”

“Terima kasih,” aku mengambil sedikit lagi, lalu menyodorkan panci itu ke ayah. Aku memperhatikannya mengambil beberapa potong ke mangkuknya.   Kemudian kami berdua memperhatikan Kikuto melayani dirinya sendiri.

Ayah menunduk “Kau tentu lapar,” katanya lagi.

Ia menyuapkan ikan ke mulutnya dan mulai makan. Kemudian aku memilih sepotong dan memakannya.  Berasa lembut, dagingnya terasa di lidah.

“Enak,” kataku, “Apa ini?” “Ikan.”

“Sangat enak.”

Kami bertiga makan dalam diam.  Beberapa menit berlalu.

“Tambah lagi?” “Apa cukup?”

“Ada banyak untuk kita.” Ayahku mengangkat sungkup dan sekali lagi uap mengepul. Kami  saling  memberi.

“Ini,” kataku pada ayah. “Kau potongan terakhirnya.” “Terima kasih.”

Ketika kami selesai makan, ayah merentangkan tangan dan menguap puas.

“Kikuko,” katanya “Tolong sediakan seteko teh.”

Kikuko memandanginya, kemudian meninggalkan ruangan tanpa komentar.   Ayahku berdiri.

“Kita istirahat di ruang lain.  Disini agak panas.”

Aku melangkah mengikuti ke ruang teh.   Jendela geser yang besar dibiarkan terbuka, membiarkan embusan angin dari taman.

Sejenak kami duduk dalam diam. “Ayah,” aku akhirnya berkata. “Ya?”

“Kikuko menyatakan padaku Watanabe –San membawa seluruh keluarganya.”

Ayah menundukkan pandangannya dan mengangguk.  Selama beberapa menit ia  tampak berpikir   dalam.   “Watanabe sangat setia dengan pekerjaannya,” akhirnya ia berkata. “Kejatuhan perusahaan hantaman berat baginya.   Aku takut itulah yang melemahkan keputusannya.”

“Kau pikir apa yang ia lakukan – satu kesalahan?” “Mengapa. Apa kau tahu sebaliknya?”

“Tidak, tidak.”

“Ada hal lain disamping kerja.” “Ya.”

Kami merasakan sunyi kembali.  Suara belalang masuk dari taman.  Aku memandang ke kegelapan.  Sumur itu tak terlihat lagi.

“Apa yang kau pikirkan untuk dikerjakan sekarang?” Ayah bertanya. “Akankah kau akan di Jepang beberapa lama?”

“Sejujurnya, aku belum berpikir terlalu jauh.”

“Jika kau berharap tinggal disini, maksudku di rumah ini, kau diterima dengan baik.  Jika

tidak berkeberatan dengan seorang lelaki tua.” “Terima kasih, aku akan memikirkannya.” Aku memandangi sekali lagi pada kegelapan.

“Tetapi, tentunya,” kata ayah,” kata ayah.   “Rumah ini begitu suram sekarang.   Tak

diragukan kau akan kembali ke Amerika tak lama lagi.” “Mungkin, aku tidak tahu.”

“Jangan ragu-ragu.”

Selama beberapa saat  ayah  tampak sedang  mempelajari  bagian belakang  tangannya. Kemudian ia menerawang dan mendesah.

“Kikuko  akan  menyelesaikan  studinya  musim  semi  yang  akan  datang,”  katanya.

“Kemungkinan ia akan pulang ke rumah.  Ia gadis yang baik.

“Kemungkinan ia akan balik.” “Segalanya akan baik-baik saja.”

“Ya, aku yakin.”

Kami merasakan kesunyian sekali lagi, menunggu Kikuko membawa teh.



____

Diterjemahkan oleh Ahmad Muhaimin dari “A Family Supper” karya Kazuo Ishiguro, pemenang Nobel Sastra 2017. Cerita pendek ini bersumber dari The Penguin Book of Modren British Short Stories. Editor Malcolm Bradbury. London. 1987. Hal. 434-442.***

 

Editor: Isbedy Stiawan ZS

Tags

Terkini

Terpopuler